Studi Kasus: Strategi Neuromarketing 2025– Decoy Pricing di Your Tea

Share this story

Brand: Your Tea (31 Outlet)

Product: Donat Kentang Frozen

Start Project: 18 April 2025

Project Owner: Cahyoed

Video Source: https://www.instagram.com/p/DIjkA0cvFo3/


Jadi begini, belum lama ini saya nglakuin studi kasus menarik soal teknik upselling dan cross-selling yang bisa banget dipakai buat bisnis F&B. Berangkat dari rasa sedih saya lihat omset toko dan karyawan yang gitu-gitu aja. Perusahaan udah nglakuin yang terbaik untuk ngadain pelatihan karyawan tentang upselling dan cross selling secara rutin tapi outputnya masih sama aja.

Nah dari situ pas Ramadhan kemarin saya nglakuin studi kasus “Cara Baru Upselling Cross Selling dengan Strategi Neuromarketing”. Saya mulai ambil data dari 4 outlet dengan periode 2 minggu. Yang bikin menarik, teknik yang dipakai ini sebenarnya salah satu strategi neuromarketing yang cukup terkenal: Decoy Pricing.

Sebagai uji coba pengambilan data awal, saya melakukan tes & trial penjualan donat frozen dengan menggunakan strategi Neuromarketing “Decoy Pricing” di 4 outlet selama 2 minggu. 1 pack isi 10 pcs donat dengan harga Rp20.000. FYI Donat Frozen ini adalah additional produk di Brand Your Tea yang potensinya besar tetapi penjulannya belum maksimal

Awal Video: Judulnya catchy banget

“Baru Nemu, Cara Baru! Upselling-Cross Selling yang Perfect Buat Resto Kamu”
Judul ini saya pakai buat kalian pemilik usaha makanan/minuman yang pengen naikin penjualan secara halus tapi efektif. Tonton videonya sambil baca studi kasus ini ya supaya lebih jelas saat praktik.

Setting Videonya Gini:

Salah satu crew Your Tea melayani pelanggan seperti biasa. Greeting dan memproses pembelian. Oiya sebelum kita ke cara pertama, kalian wajib setup visual cue di outletnya ya. Karena target saya adalah jualan Donat Frozen maka saya siapkan visualnya seperti ini:

Setting Visual Cue Donat Frozen didepan Kasir

Karena Neuromarketing adalah strategi yang nyasar subconciousnya pelanggan, visual cue wajib ada ¹ (95% keputusan beli itu dibuat oleh alam bawah sadar).

Langkah 1: Kata “Gratis” itu Sakti

Langkah pertama yang dilakukan si karyawan adalah: menawarkan tester (Reciprocity Principal).

Kalimatnya sederhana:

“Kak, mau coba dulu nggak? Kita lagi ada tester.”
“Boleh sekalian nggak? Kita ada free testing-nya.”

Di layar muncul penjelasan bahwa kata “gratis” itu bikin otak kita ngerasa nggak rugi, alias ngilangin rasa “sakit” –“pain of paying” karena harus keluar uang. Ini sesuai prinsip timbal balik di neuromarketing yang disebut 2Reciprocity: kita lebih cenderung beli kalau sebelumnya sudah nerima sesuatu secara cuma-cuma.

Oiya tim kasir diatas masih sering menggunakan kata negatif saat berkomunikasi dengan pelanggan, nextnya jangan sampai tim kita pakai kata negatif (gak, jangan, tidak pernah, mahal) saat persuasive ya.

Langkah pertama adalah Reciprocity

Langkah 2: Langsung Tembak dengan Harga Tertinggi (Decoy!)

Nah ini bagian pentingnya.

Begitu pelanggan tertarik (setelah nyobain) dan pasti nyobain karena kita pakai kata “Gratis”, langsung ditawarin produk paling mahal dulu: box hampers isi 30 donat seharga Rp 80.000.

Langkah kedua adalah Decoy Pricing harga tertinggi

Baru setelah itu, mbaknya ngomongin pilihan lain yang lebih murah: 1 pack isi 10 donat kentang seharga Rp 20.000.

Kenapa strateginya kayak gini?

Karena ini teknik decoy pricing: kita munculin opsi mahal dulu biar pilihan berikutnya kelihatan jauh lebih worth it. Jadi ketika pelanggan denger harga Rp 20.000 setelah sebelumnya ditawarin Rp 80.000, produk Rp 20.000 terasa “lebih murah, lebih masuk akal”—padahal tetap upsell juga.

Awalnya si mbak masih agak gugup—salah nyebut harga, jumlah donat, semacam itu. Tapi ini justru nunjukkin bahwa strategi ini bisa dipelajari siapa aja dan akan makin lancar seiring waktu.

Langkah 3: Fokus ke Produk Target

Setelah yang mahal ditolak (memang sebenarnya target kita bukan yang box itu), mbaknya langsung balik ke produk yang lagi dikejar penjualannya, yaitu: donat kentang isi 10 Rp 20.000.

Donat Kentang Frozen isi 10 pcs

Kalimatnya kira-kira begini:

“Atau ini deh Kak, kita lagi ada promo di donat kentang. Rp 20.000 isi 10.”

Menariknya, meskipun akhirnya si pelanggan cuma beli minuman Thai Tea seharga Rp 7.000, mbaknya tetap nggak nyerah. Dia masukin satu lagi tawaran:

“Mau coba donat kentangnya?”

Dan boom! Pelanggan akhirnya beli juga si donat promo tadi. Cross-selling sukses.

Kenapa Ini Efektif?

Karena ada jeda waktu saat pelanggan nunggu pesanan, yang dimanfaatkan buat terus nyodorin penawaran tambahan. Plus, dari awal setup tempatnya udah dikemas secara visual dengan copy, warna, dan tampilan yang menggoda—semua ini main di bawah sadar konsumen. Visual merchandising + storytelling visual itu penting banget di dunia F&B sekarang.

Closing-nya Gimana?

Akhirnya pelanggan beli produk utama (Thai Tea Rp 7.000), dan beli donat kentang promo Rp 20.000. Total transaksi naik jadi Rp 27.000—padahal awalnya cuma niat beli satu item.

Kesimpulan gini:
Video ini buktiin kalau teknik upselling dan cross-selling yang dikombinasiin sama prinsip neuromarketing (khususnya decoy pricing) bisa jalan banget di lapangan. Apalagi kalau tim di outlet udah dilatih buat ngerti cara komunikasi yang halus tapi ngefek. Ditambah visual yang menarik, pemilihan kata yang tepat (kayak “gratis”), dan urutan tawaran yang strategis—hasilnya bisa langsung kerasa di omzet.

Program Decoy pricing ini telah menghasilkan revenue sebesar Rp 42.240.000 untuk Perusahaan selama 20 hari program berjalan

Cocok banget buat kamu yang punya usaha makanan, minuman, atau bahkan snack kekinian. Nggak perlu alat canggih, yang penting ngerti gimana cara mainin persepsi otak konsumen dengan etis dan pintar.

Notes

¹Dr. A.K. Pradeep dan Roger Dooley.

2Dalam psikologi, fenomena ini disebut “prinsip timbal balik” (reciprocity principle). Ini adalah konsep dalam psikologi sosial yang menjelaskan bagaimana seseorang merasa berkewajiban untuk membalas kebaikan yang diterimanya.

Project Story (sayang kalau dibuang)


Project Build Market by

@cahyoed

2025

Oiya kenalan Dulu Ya:

Saya Cahyoed, seorang marketing strategist dari Bogor Jawa Barat.

Selama ini, kerjaan saya nggak jauh-jauh dari satu hal: masuk ke dalam kepala calon pembeli. Saya pakai cara-cara klasik yang umum dipakai pemasar dari dulu—wawancara langsung, riset pasar, baca-baca hasil studi, dan lain-lain. Dari situ, saya ngerancang strategi bareng tim: bikin iklan, desain website, sampai konsep booth pameran. Terus kami tes lewat focus group atau A/B testing buat tahu mana yang paling berhasil.

Jujur, saya sempat ngerasa udah ngelakuin semuanya dengan benar…
Sampai akhirnya saya belajar Neuromarketing.

Ilmu ini bener-bener ngebuka mata saya. Ternyata, selama ini saya cuma nyentuh bagian kecil banget dari otak konsumen. Seperti kebanyakan pemasar lainnya, saya terlalu fokus ke permukaan—hal-hal yang kelihatan dan terdengar aja. Saya nanya pertanyaan-pertanyaan standar kayak, “Kamu suka iklan ini nggak?” atau “Kalau saya sebut brand ini, kamu kepikiran hewan apa?” atau “Lebih enak tombol warna merah apa hijau ya?”

Dan ternyata… semua itu masih jauh dari dalamnya proses pengambilan keputusan di otak kita.

Referensi saya, Dr. A.K. Pradeep dan Roger Dooley nunjukkin fakta yang cukup mind-blowing: 95% keputusan beli itu dibuat oleh alam bawah sadar.
Gila, kan?

Kenalin Juga Hasil Corat-Coret Saya Pakai Data:

Neuromarketing 2025 Guidebook

Rahasia Jualan di Otak Pelanggan & Panduan gimana caranya bikin orang tertarik dan pengen beli


Biasanya, kata “rahasia” di buku marketing tuh kayak bumbu doang biar kelihatan keren. Tapi menurut saya, judul Neuromarketing 2025 Guidebook: Rahasia Jualan di Otak Pelanggan ini nggak lebay sama sekali. Justru, setiap pengalaman yang saya tuangkan ini bisa ngasih perspektif baru ke kalian buat mikir, “Wah, selama ini gue kelewat ini, ya?”

Dengan guidebook ini kalian akan paham bahwa otak laki-laki dan perempuan itu beda, dan itu penting banget buat bikin strategi marketing yang relevan. Otak manusia juga berubah seiring bertambahnya usia, dan kalau kita ngerti polanya, kita bisa bikin pendekatan yang lebih ngena buat tiap kelompok umur. Bahkan otak ibu yang baru melahirkan pun punya pola unik yang bisa dimanfaatkan dalam komunikasi produk. Edan, ya?

Nggak heran sih kalau perusahaan-perusahaan besar dunia mulai ngelirik neuromarketing. Mereka pakai neuroscience buat ngedesain brand, produk, kemasan, campaign, bahkan layout toko.

Intinya, kalau kamu ngerti cara kerja otak manusia, kamu bisa bikin produk dan pemasaran yang jauh lebih efektif.
Dan akhirnya… jualan kamu juga makin kenceng.

Salam Laris Manis,
—Cahyoed
Marketing Strategist | Bogor, Jawa Barat, Indonesia


Scroll to Top